Kamis, 12 September 2013

Pengertian Syari'ah

SYARI’AH

  1. 1.      Pengertian syari’ah


Syariah, secara literal, Mawrid al-Ma’ (sumber mata air). Dalam hal ini, Syari’at atau syir’ah bisa di artikan secara bahasa yaitu sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.

Sedangkan secara terminologis, syari’ah artinya sistem yang mengatur hu-bungan antara manusia dengan Allah, dirinya dan sesama-nya (Mahmud Syaltut, al-Islam Aqidatan wa Syari’atan ).

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.

  1. 2.      Perbedaan syari’ah, fiqih, dan din


Syariah, secara terminologis, sistem yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, dirinya dan sesama-nya Fiqih, secara terminologis, ilmu tentang hukum-hukum syariah yang digali dari dalil-dalil hukum tersebut secara terperinci. Jadi, Fiqih bagian dari Syariah. Syariah tidak bisa dipisah-kan dari Fiqih.

Mengemukakan pandangan Al Allamah al Thabathaba-iy, pemikir muslim dari Iran, ketika menguraikan perbedaan antara Syari'ah dan al Din, mengatakan bahwa penggunaan kata Syari'ah dalam al Qur-an mempunyai arti lebih khusus daripada al Din . Syari'ah adalah jalan atau cara-cara yang ditempuh oleh suatu masyarakat/bangsa atau oleh seorang Nabi, seperti syari'at Nabi Nuh, syari'at Nabi Ibrahim, syari'at Nabi Musa, syari'at Nabi Isa dan syari'at Nabi Muhammad saw. Sementara din adalah jalan ketuhanan (al thariqah al ilahiyah) yang bersifat menyeluruh (universal) untuk semua bangsa. Syari'at bisa di naskh (dihapus/diganti), tetapi tidak untuk din . Al Mizan fi Tafsir al Qur-an , Al A'lami, Beirut.

  1. 3.      Macam-macam hukum syari’ah



  • Hukum taklifi


Hukum taklifi adalah sesuatu yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat, atau tuntutan untuk meninggalkan, atau boleh pilih antara berbuat dan meninggalkan.

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk berbuat: “Ambilah sedekah dari sebagian harta mereka!” [QS. At-Taubah (9): 103], “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Al-Imran (3): 97].

Contoh hukum yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan: “Janganlah di antara kamu mengolok-olok kaum yang lain.” [QS. Al-Hujurat (49): 11], “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, dan daging babi.” [QS. Al-Maidah (5): 3].

Contoh hukum yang menunjukkan boleh pilih (mudah): “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi.” [QS. Al-Jumu'ah (62): 10], “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat.” [QS. An-Nisa' (4): 101].

Hukum taklifi terbagi menjadi dua, yaitu azimah dan rukhshah. Azimah adalah suatu hukum asal yang tidak pernah berubah karena suatu sebab dan uzur. Seperti shalatnya orang yang ada di rumah, bukan musafir. Sedangkan rukhshah adalah suatu hukum asal yang menjadi berubah karena suatu halangan (uzur). Seperti shalatnya orang musafir.

  • Hukum wadh’i


Hukum wadh’i adalah yang menunjukkan bahwa sesutu telah dijadikan sebab, syarat, dan mani’ (pencegah) untuk suatu perkara.

Contoh sebab: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.” [QS. Al-Maidah (5): 6]. Kehendak melakukan shalat adalah yang menjadikan sebab diwajibkannya wudhu.

Contoh syarat: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan kepadanya.” [QS. Ali Imran (3): 97]. Kemampuan adalah menjadi syarat diwajibkannya haji.

Contoh mani’ (pencegah): Rasulullah saw. bersabda, “Pena diangkat (tidak ditulis dosa) dari tiga orang, yaitu dari orang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia dewasa, dan dari orang gila sampai ia sembuh (berakal).” Hadits ini menunjukkan bahwa gila adalah pencegah terhadap pembebanan suatu hukum dan menjadi pencegah terhadap perbuatan yang sah.

  1. 4.      Sebab akibat syari’ah


Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.

Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara' dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara'.

  • Asas Syara'


Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara' dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.

Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati syari'at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari'at yang berlaku.

  • Furu' Syara'


Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist. Kedudukannya sebaga Cabang Syari'at Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar