Kamis, 12 September 2013

Review Buku : Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jujun S. Suriasumantri)

IDENTITAS BUKU


Judul buku                : Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer


Pengarang                  : Jujun S. Suriasumantri


Penerbit                      : Pustaka Sinar Harapan Jakarta


Tahun terbit              : 1995 (cetakan ke IX)


Jumlah halaman        : 384 halaman


BAB I


PENDAHULUAN


1.1.       LATAR BELAKANG


Istilah ilmu bukan sesuatu yang asing bagi kita. Selama duduk di bangku sekolah,  kita mempelajari ilmu. Namun hakikat ilmu sendiri, tidak semua orang mengetahuinya. Bahkan masih banyak diantara kita yang tidak tahu perbedaan antara ilmu dan pengetahuan. Lebih parah lagi, ada beberapa kosakata dalam bahasa Indonesia yang mengkonotasikan seolah-olah tidak semua ilmu itu baik. Misalnya kata ilmu hitam, ilmu sihir, ilmu tenung, ilmu santet dan lain-lain.

Agar pemahaman tentang ilmu tidak semakin melenceng, ada baiknya kita mempelajari filsafat ilmu. Tentu bukan hanya belajar di bangku kuliah. Sebab apa yang kita pelajari di perkuliahan cenderung berupa teori. Sehingga untuk lebih memperdalam pemahaman serta untuk membangun pola pikir kritis mahasiswa, maka membaca buku filsafat ilmu adalah solusinya.

Tentunya membaca bukanlah suatu hal yang mudah. Terlebih bagi kami mahasiswa PMT yang lebih akrab dengan rumus-rumus singkat. Dan untuk menyiasatinya, saya sengaja memilih buku ini. Dengan gaya bahasa yang populer dan kaya anekdot, belajar filsafat ilmu bukan menjadi hal yang membosankan.

Terlepas dari kesempurnaan sebuah buku, sebagai pembaca tentunya saya memiliki tanggapan tersendiri untuk materi-materi tertentu. Dalam hal ini, tanggapan adalah apa yang muncul di kepala saya saat membaca buku ini.

1.2.       TUJUAN




  1. Memperdalam pengetahuan tentang filsafat ilmu.

  2. Membangun pola pikir kritis mahasiswa.


1.3.       MANFAAT


Dengan tugas ini, banyak manfaat yang bisa kita rasakan. Ringkasan yang saya buat ini setidaknya dapat menjadi referensi bila suatu hari dibutuhkan. Kemudian juga apa yang disampaikan penulis dapat menjadi motivasi bagi kita dalam mencari ilmu.

BAB II


PEMBAHASAN


 


2.2.      POKOK-POKOK ISI BUKU


Bab I merupakan sebuah pengantar yang memberikan penjelasan tentang filsafat, pengetahuan, filsafat ilmu, serta kaitan antara  ketiganya. Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu. Sedangkan filsafat dimulai dengan rasa ingin tahu serta rasa ragu-ragu. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita berterus terang kepada diri kita sendiri, apakah sebenarnya yang kita ketahui tentang ilmu? Dan hal hal pokok lain tentang ilmu.

Filsafat merupakan peneratas pengetahuan. Filsafat menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok, terjawab masalah yang satu dia pun mulai merambah pertanyaan lain. Cabang cabang filsafat antara lain meliputi Filsafat Pengetahuan, Metafisika, Filsafat Ilmu, Filsafat Pendidikan, Filsafat Matematika dan lain lain. Filsafat ilmu sendiri, merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu. Dan ilmu merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.

Bab II berisi tentang dasar-dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan adalah penalaran. Penalaran adalah proses menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Dan berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Ciri-ciri penalaran ialah adanya suatu pola berpikir yang luas (logika), proses berpikir yang analitik.

Logika adalah pengkajian untuk berpikir secara sahih. Dua macam logika yakni logika deduktif dan logika induktif, keduanya menggunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggap benar. Dua cara pokok untuk mendapatkan pengetahuan yang benar yaitu mendasarkan diri kepada rasio dan mendasarkan diri kepada pengalaman. Ada tiga macam teori tentang kriteria  kebenaran, yaitu teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatis.

Bab III mengulas ontologi. Ontologi adalah pembahasan apa yang ada. Apa itu filsafat ilmu Apa yang dikaji filsafat ilmu, dan sebagainya. Ontologi juga bisa disebut dengan objek kajian. Objek kajian terbagi menjadi dua macam, objek formal dan objek material. Studi tentang yang ada, pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Metafisika adalah bidang telaah filsafat yang merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafat. Dan ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia. Ilmu berkembang dengan sangan pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu alam dan filsafat moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu sosial.

Bab IV mengulas epistemologi. Epistemologi ilmu adalah teori tentang pengetahuan yang membahas hakikat, sumber, cara memperoleh, dan validitas kebenaran. Dalam kajian filsafat ilmu, landasan epistemologinya adalah metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Pengetahuan ilmiah juga memiliki struktur tersendiri, yaitu
teori,  hukum, prinsip, dan postulat.

Bab V mengulas sarana berpikir ilmiah. Sarana ilmiah adalah alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik. Untuk melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika.

Bahasa menjadi salah satu sarana berpikir ilmiah, sebab dalam komunikasi ilmiah diperlukan cara berbahasa yang benar, terbebas dari unsur-unsur emotif., sehingga bersifat reproduktif, jelas, dan objektif. Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika bersifat artifisial yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan kepadanya. Tanpa itu, maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati. Statistika merupakan pengetahuan untuk melakukan penarikan kesimpulan induktif secara lebih seksama. Statistika memberikan cara untuk dapat menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya sebagian dari populasi yang bersangkutan.

Bab VI mengulas aksiologi. Aksiologi berarti teori tentang nilai. Meliputi pertanyaan-pertanyaan seperti untuk apa ilmu pengetahuan itu digunakan, bagaimana kaitannya antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral, bagaimana menentukan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral, serta bagaimana metode ilmiah yang digunakan dengan norma moral dan profesional.  Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, agar produk keilmuan yang diciptakan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Ilmuwan juga harus menjadi contoh masyarakat dalam bersikap objektif, terbuka, menerima kritik, kukuh dalam pendirian yang benar, serta berani mengakui kesalahan.

Bab VII mengulas ilmu dan kebudayaan. Kebudayaan adalah keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebudayaan berhubungan dengan pendidikan karena manusia memperoleh kebudayaan secara sadar lewat proses belajar. Proses belajar tersebut diteruskan oleh kebudayaan kepada generasi-generasi berikutnya. Berarti, kebudayaan terikat dengan waktu. Terdapat enam nilai dasar kebudayaan, yaitu nilai teori, ekonomi, estetika, sosial, politik, dan nilai agama. Ilmu merupakan sumber nilai yang mendukung terselenggaranya perkembangan kebudayaan nasional dan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak suatu bangsa.

Bab VIII mengulas ilmu dan bahasa. Seluruh bentuk yang dicirikan oleh karakteristik obyek ontologis, landasan epistemologis dan landasan aksiologis dapat digolongkan dalam kategori knowledge. Sedangkan saintifik knowledge adalah pengetahuan yang objektif, sistematis, bermetode, berlaku universal.

Bahasa pada hakikatnya mempunyai dua fungsi utama yaitu sebagai sarana komunikasi antarmanusia dan sebagai sarana budaya yang mempersatukan kelompok manusia yang mempergunakan bahasa tersebut. Sebagai alat komunikasi, bahasa mempunyai fungsi emotif, afektif dan penalaran, yang mana ketiganya mampu mencerminkan perasaan, sikap dan pikiran suatu kelompok masyarakat yang mempergunakan bahasa tersebut.

Bab IX mengulas tentang penelitian dan penulisan ilmiah. Penulisan ilmiah pada dasarnya merupakan argumentasi penalaran keilmuan yang dikomunikasikan lewat bahasa tulisan. Penulisan ilmiah harus melalui struktur penulisan ilmiah, yang langkah-langkahnya secara berurutan adalah seperti ini : Mengajukan masalah, menyusun kerangka teoretis dan mengajukan hipotesis, menguji hipotesis, melaporkan hasil penelitian, serta membuat ringkasan dan membuat kesimpulan penelitian yang ditulis dalam bab tersendiri.

Bab X merupakan penutup dari keseluruhan isi buku. Dalam bab ini, penulis menegaskan bahwa ilmu harus memiliki konsep dan menjadi pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis untuk memecahkan masalah. Ilmu bukan hanya sekadar pengetahuan yang harus bisa dihafal atau hanya untuk sekedar dikenal atau sebagai pemenuhan kebutuhan estetika saja. Ilmu harus bisa digunakan untuk menjelaskan, meramal, dan mengontrol masalah-masalah kehidupan.

2.3.      KRITISASI ISI BUKU


Sebagai permulaan, saya ingin menyampaikan bahwa ada dua hal yang saya pertanyakan tentang pendapat penulis dalam buku ini. Mengenai teori kriteria kebenaran, penulis menjelaskan hanya ada tiga macam teori, yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi dan kebenaran pragmatisme. Padahal dalam buku Ismaun (2001), Michael William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Dan bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. Memang yang dipakai dalam metode berpikir ilmiah hanya teori korespondensi dan koherensi. Namun tidak ada salahnya kita mempelajari teori-teori yang lain.

Juga pada bab III, tepatnya mengenai batas-batas penjelajahan ilmu, terdapat penjelasan tentang adanya pemecahan ilmu menjadi dua cabang utama, yaitu ilmu social dan ilmu alam. Bahwa ilmu alam dibedakan lagi menjadi fisika, kimia, astronomi, dan ilmu bumi. Yang perlu digaris bawahi adalah ilmu bumi. Mengapa ilmu bumi diklasifikasikan dalam ilmu alam? Padahal saat ini studi Geografi dikelompokkan dalam jalur Ilmu Pengetahuan Sosial. Disini penulis tidak menjelaskan lebih lanjut.

Selanjutnya, saya ingin membagi sedikit pengetahuan saya terkait masalah-masalah krusial dalam buku ini. Pertama saya tertarik pada kata pengantar buku ini. Dimana Andi Hakim Nasution yang merupakan dosen dari Jujun Suriasumantri ketika di pascasarjana IPB, membagi sedikit cerita tentang betapa kritisnya Jujun saat itu. Sampai ketika Jujun menanyakan, “Kalau Tuhan Maha Kuasa, maka Ia kuasa membuat batu yang mahabesar sehingga Ia tidak kuasa mengangkat batu tersebut”. Entah kenapa saya terkaget dengan pertanyaan seperti itu, tapi saya tertarik untuk menjawabnya. Dan ini jawaban saya “Memang sebenarnya Tuhan kuasa melakukannya. Karena tidak da yang tidak mungkin bagi Tuhan. Tapi kalo seandainya itu terjadi, maka berarti Tuhan menciptakan sesuatu yang lebih kuasa dari-Nya. Dan hal itu adalah tidak mungkin.”

Kedua adalah pembahasan tentang sumber-sumber pengetahuan. Penulis menyampaikan ada 4 sumber pengetahuan, yaitu rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Pembahasan ini agaknya mengingatkan saya pada perdebatan antara ilmu umum dan ilmu agama. Bagi ilmu umum, dalam hal ini diwakili oleh ilmuwan barat, ilmu pengetahuan yang dibenarkan hanya yang berdasarkan rasio dan pengalaman. Mereka menyimpulkan, fakta-fakta empiris yang mereka peroleh secara inderawi, akan terkumpul dan dinalar oleh rasio / akal sehingga menjadi suatu pengetahuan yang terstruktur dan logis. Intuisi dianggap hanya sebagai halusinasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Apalagi wahyu, bagi mereka isi kitab suci tidak bisa diakui sebagai suatu kebenaran karena tidak memenuhi syarat metode ilmiah. Menurut pandangan saya pribadi, hal ini adalah tidak sepenuhnya benar. Sebab, tidak semua permasalahan sehari-hari mampu di nalar oleh rasio. Ketika kita menghadapi suatu masalah yang sangat sulit kita pecahkan, tapi tiba-tiba saja muncul jawabannya dalam benak kita, dan kita menganggapnya sebagai suatu kebenaran. Inilah yang dinamakan intuisi. Ada yang menganggapnya sebagai ilham. Dan hal ini seringkali terjadi.

Sedangkan wahyu sendiri, masih menurut saya, adalah tingkat pengetahuan tertinggi. Yang mana didalamnya adalah firman Tuhan. Agama tidak bisa disamakan dengan ilmu manusia / ilmu umum. Agama, kitab suci dan ketetapan Tuhan adalah kebenaran mutlak. Baik ilmu umum maupun agama keduanya mempunyai jalur yang berbeda. Ilmu umum sifatnya dinamis, cepat berubah seiring perkembangan zaman, Sedangkan ketetapan Tuhan adalah mutlak, tidak bisa disangkal. Tentu hal ini kembali kepada rasa percaya kita akan Tuhan. Dan hal ini berseberangan dengan asal mula ilmu umum yang berawal dari rasa keingintahuan dan ragu-ragu / skeptis.

Bukan berarti juga saya menganut paham sekuler yang memisahkan antara agama dengan kehidupan. Saya juga tidak mengingkari bahwa ada beberapa teori sains yang sebenarnya sudah dirinci pada Al-Qur’an. Misalnya tentang penciptaan manusia, tentang lebah dan lain sebagainya. Hanya saja saya tidak setuju bila eksistensi Al-Qur’an diragukan akibat berkembangnya ilmu pengetahuan. Misalnya andaikan ketika manusia telah mampu menciptakan suatu gen tertentu dengan teknologi yang dimiliki. Maka lantas ayat al-qur’an dianggap sudah tidak berlaku. Dan karena gen itu diciptakan oleh manusia, maka manusia boleh tidak tunduk kapada hokum Allah. Tentu hal yang sangat tidak dibenarkan dan na’udzubillahi mindzalik.

Ketiga adalah mengenai tanggung jawab moral seorang ilmuwan. Saya setuju dengan pendapat penulis bahwa seorang ilmuwan mempunyai tanggung jawab sosial, agar produk keilmuan yang diciptakan sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Ilmuwan juga harus menjadi contoh masyarakat dalam bersikap objektif, terbuka, menerima kritik, kukuh dalam pendirian yang benar, serta berani mengakui kesalahan. Asumsi saya, ketika seorang ilmuwan menciptakan suatu teknologi yang ternyata disalahgunakan oleh masyarakat, sehingga merusak tatanan moral masyarakat, harusnya ilmuwan itu berani mencabut produknya dari masyarakat. Misalnya seperti ATM kondom yang popular akhir-akhir ini. Memang tujuannya baik, untuk meminimalisir aborsi. Tapi pada kenyataannya dengan adanya produk tersebut, masyarakat semakin mudah mengakses kondom. Dan pada akhirnya terkesan bahwa sex bebas adalah hal yang legal dan boleh. Maka sehebat apapun teknologi bila tidak mampu digunakan sebaik-baiknya oleh manusia, akan percuma. Ilmu tidak akan kembali pada fungsi aslinya, yaitu mempermudah hidup manusia, tapi justru mempersulit.

Terakhir, saya tergelitik membaca bab terakhir buku ini, yaitu mengenai hakikat dan kegunaan ilmu. Bahwa ilmu seharusnya bukan hanya untuk dihafal, namun hendaknya mempunyai kegunaan praktis untuk memecahkan masalah sehari-hari. Nyatanya, di negeri ini orang berlomba-lomba bersekolah tinggi sekali dengan jurusan yang katanya menjamin masa depan. Tapi entah kenapa negeri ini masih belum berubah. Lalu apa gunanya honoris causa ilmu politik lulusan Amerika, tapi waktu terjun ke dunia politik justru tidak pandai berbuat untuk kemajuan negeri. Bersyukurlah para calon guru yang walaupun hanya punya satu gelar tapi insya Allah ilmunya akan manfaat, mencetak generasi-generasi pionir.

2.4.      KELEBIHAN DAN KEKURANGAN BUKU


Sebuah buku yang memiliki pembahasan luas dalam penyampaiannya. Bukan hanya terpaku pada satu ide pokok. Namun penulis mampu mengaitkan suatu pokok masalah ke hal-hal yang lebih umum dan mudah dinalar. Penulis berhasil menyampaikan pesannya secara efektif terutama melalui ilustrasi gambar, karikatur syair, dan anekdot yang sangat relevan.

Yang menarik lagi, penulis menyampaikan penekanan pada aspek sarana berpikir ilmiah, terutama mengenai hubungan bahasa dengan ilmu. Suatu hal yang sangat patut dipuji  karena orang Indonesia banyak yang tidak menyadari betapa erat hubungan bahasa dan penguasaan bahasa dengan berpikir secara ilmiah (scientific thinking). Misalnya bahasa Jerman, beserta strukturnya, sangat baik untuk mengutarakan analisa yang berat misalnya pikiran metafisika, epistemologi dan ilmiah. Kemudian bahasa Prancis, sangat baik untuk mengutarakan ide. Oleh sebab itu, para ahli bahasa Indonesia, beserta para ilmuwan, mempunyai kewajiban moral menyempurnakan bahasa Indonesia, agar dapat berfungsi sebagai bahasa ilmiah bukan saja dalam menciptakan istilah-istilah baru, tapi juga menyempurnakan struktur dan kaidah-kaidahnya. Apalagi bila diaplikasikan dengan masa sekarang. Semakin banyak kata-kata baru yang diciptakan generasi muda Indonesia, untuk berkomunikasi sehari-hari. Tetapi tidak disempurnakan agar bisa dipergunakan sebagai bahasa ilmiah.

Terlepas dari ide-ide segar yang disampaikan penulis, tetap saja ada sedikit hal yang ganjil di mata pembaca. Ada materi yang dibahas berulang-ulang. Contohnya tentang metode ilmiah.

Penyampaian masalah cenderung bertele-tele dan tidak to the point. Saya sarankan untuk membaca secara berurutan agar bisa memahami subbab materi selanjutnya, sebab antar materi semuanya saling terkait. Saya tidak mau menyebutnya sebagai suatu kelemahan, karena kembali lagi kepada sasaran buku ini. Bahwa pembahasan ditujukan kepada orang awam yang ingin mengetahui aspek kefilsafatan dari bidang keilmuan dan bukan ditujukan kepada mereka yang menjadikan filsafat ilmu suatu bidang keahlian.

BAB III


PENUTUP


3.1.      KESIMPULAN


Buku karangan Jujun S. Suriasumantri ini sangat cocok dibaca kalangan manapun yang ingin mendalami aspek filsafat ilmu secara luas. Bukan hanya cocok sebagai referensi kuliah, namun juga cocok dibaca santai, karena penyajiannya bersifat populer.

Dengan membaca buku ini, maka pemahaman filsafat pembaca akan bertambah sehingga lebih mampu mengkritisi kasus-kasus dalam kehidupan nyata yang berkaitan dengan filsafat ilmu.

3.2.      SARAN


Untuk lebih memperjelas pemahaman, disarankan untuk membaca juga buku filsafat ilmu lain serta membandingkannya. Sehingga pembaca mengetahui  kelemahan dan kelebihan buku, dan diharapkan antar buku saling melengkapi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar