Kamis, 26 September 2013

[Artikel Matematika] TEORI KONEKSIONISME E.L THORNDIKE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA



TEORI KONEKSIONISME E.L THORNDIKE DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA[1]

Oleh:
Qomaroh (D04209046) & Umi Hanik (D04209062)
(Jurusan Pendidikan Matematika IAIN Sunan Ampel Surabaya)


I. PENDAHULUAN

Pada  umumnya  persepsi  siswa  terhadap  pelajaran  matematika  dirasakan sukar dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Namun  juga terdapat beberapa  siswa  yang  sangat  menikmati  keasyikan  bermain  dengan matematika, mengagumi keindahan matematika dan tertantang ingin memecahkan setiap  soal  matematika.  Kedua  persepsi  ini  pasti  ada  dalam  pendidikan matematika  di  mana-mana.  Yang  menjadi  masalah  adalah  persepsi  negatif terhadap pelajaran matematika sangat banyak terdengar. Persepsi negatif ini, mungkin saja berasal  dari porsi materi matematikanya terlalu  banyak  dan    tidak  sesuai  dengan  tingkat  perkembangan  intelektual  siswa; bahkan mungkin berasal  dari strategi pembelajarannya yang kurang menarik bagi siswa.  Namun  kita  harus  selalu  berusaha  membangun  persepsi positif terhadap pelajaran matematika. ( dikutip dari buku “Pokok-pokok Pengajaran Matematika di Sekolah” oleh Muhamad Sholeh)
Untuk membangun porsi persepsi positif agar lebih banyak daripada persepsi negative tentunya bukan perkara yang mudah dan bukan perkara yang tidak mungkin. Diperlukan strategi khusus bagi guru atau pengajar matematika tentang bagaimana menyajikan matematika secara menarik bagi murid, diantaranya dengan meminimalisir kesulitan belajar siswa dalam matematika. (Sabri : 1995) mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau ditugaskan oleh guru. Diperkuat oleh pemaparan Herman Hudojo (1983:200) dalam salah satu jurnal milik Edi Prajitno dkk (2002:68), menyatakan bahwa kesulitan belajar merupakan gejala yang Nampak dalam berbagai jenis manifestasi.
Kesulitan belajar menurut thorndike dapat terkurangi dengan adanya latihan, yaitu semakin sering tingkah laku diulang atau dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. (Wasty : 2003 ) mengemukakan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah digunakan, artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering berlatih maka akan semakin paham. sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie bahwa individu merupakan “manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu”.
Dalam proses belajar, siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-keterampilan dan sebagainya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan suatu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain sebagainya.
Dalam pembahasan kali ini akan di jelaskan salah satu Teori Behavioristik yang lebih terpusat pada tingkah laku. Melalui pembahasan dalam makalah ini, akan diketahui tentang pengertian teori koneksionisme Thorndike, hukum-hukum teori koneksionisme, aplikasi teori koneksionisme dalam pembelajaran matematika, kelebihan dan kelemahan teori koneksionisme.

II. PEMBAHASAN

Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike

Edward Lee Thorndike dianggap sebagai ilmuwan behaviorisme terbesar sepanjang sejarah. Teori-teorinya mudah dan dapat dimengerti serta mudah diaplikasikan di dunia nyata. Beberapa teori yang mengusik pikiran para kritikus pendidikan adalah salah satu teori utamanya yang disebut dengan conectionisme (George : 2005).
Edward Lee Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas Wesleyen dan kemudian Universitas Harvard telah membentuk ide-ide Thorndike mengenai psikologi. ( Esti : 2006) mengemukakan teori Edward Lee Thorndike ini dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara Stimulus dan Respons .
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon (Muhibbin : 2007). Stimulus  yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan melalui alat indera, sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan). Salah satu indikadasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru.
Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori “conectionisme”. Atau dengan kata lain, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara S (stimulus) dan R (respon, sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon ) atau antara kesan indera (sense impression) dan impuls (dorongan spontan) untuk bertindak (impuls to action) disebut “bond” atau “connection” atau “association”. Karena itulah maka teori ini disebut “connectionis” atau “bond psikologi”. Menurut Thorndike, asosiasi itu membentuk sebagian besar, meskipun bukan seluruhnya, apa yang di pelajari dan diingat oleh manusia .Teori ini disebut juga dengan “trial and error learning” (belajar dengan cara coba salah) atau “learning by selecting and connecting” (belajar dengan menyaring dan menghubungkan). Menurut teori ini, belajar dilakukan dengan cara menyaring atau memilih respons yang tepat terhadap stimulus tertentu ( Muhammad : 2004 ).

Hukum-hukum Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike
Adapun hukum – hukun teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike  yang ditulis oleh Stephen Tomlinson (Edward Lee Thorndike and John Dewey on the Science of Education, 1997) adalah :
  1. Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya.
  2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan dan pengalaman yang  telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon yang terus-terus dilatihkan, maka  ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).
  3. Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal  ini berarti,  jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan  jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung tidak akan diulangi pada waktu yang lain. Perhatikan ungkapan Stephen F.Walker (A  brief  history  of  connectionism  and  its  psychological Implications, 1992) Technically  Thorndike  proposed  a  teaching  rule,  not  unlike  back propagation,  by  which  the  positive  outcome  strengthened  or  “stamped-in”  connections between  an  immediately  preceding  behaviour  and  stimulus  input  present  at  the  time. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut  ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru  kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebabkan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya ( Wasty : 2003). Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer oftraining. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan  unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya, kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik. Dengan demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan latihan.
Aplikasi Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
Implikasi Teori Throndike pada pembelajaran dikelas yang dikutip dari buku Psichology of Learning adalah :
1) Guru harus tahu, bahwa siswa lebih minat belajar ketika mereka merasa berkebutuhan dan berkepentingan pada pelajaran tersebut. maka guru harus memastikan bahwa kegiatan belajar tersebut penting bagi siswa.
2)   Kesiapan merupakan prasyarat untuk belajar, karena itu guru disarankan untuk mempertimbangkan kemampuan mental atau kognitif peserta didik ketika merencanakan kurikulum atau isi instruksional.
3)   Guru harus menyadari fakta bahwa siswa ingin mengulangi tindakan yang mereka terima sebagai hal positif. Oleh karena itu, guru harus selalu menggunakan berbagai strategi motivasi untuk mempertahankan minat belajar siswa di kelas.
4)   Guru harus selalu meghadirkan bahan secara logis dan cara yang lebih koheren. Ini adalah cara utama menangkap dan mempertahankan kepentingan peserta didik dalam kegiatan pedagogis.
5)   Guru harus mempertimbangkan penggunaan hukuman sebagai pilihan terakhir dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan di kelasnya. Ini disebabkan hukuman tidak bisa benar-benar mengatasi masalah dan itu akan membuat siswa menjadi lebih keras di kelas.Guru harus menyadari pentingnya latihan atau praktek dalam proses pembelajaran. Diperkuat oleh Hull (1943) Learning may not occur unless practice. Ini berarti bahwa guru harus melibatkan siswa dalam tugas atau pekerjaan rumah, jika ingin tercapainya pembelajaran bermakna.
Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adalah sebagai berikut  ( Suherman : 2003 ) :
  1. Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar
  2. Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu. Hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
  3. Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika dengan cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap materi yang diberikan.
  4. Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
  5. Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
  6. Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
  7. Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
  8. Cara mengajar yang baik bukanlah  hanya mengharapkan murid tahu apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
  9. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam – macam situasi.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike

Kelemahan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
  1. Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon
  2. Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya

Kelebihan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
  1. Teori ini mengarahkan anak untuk berfikir linier dan konvergen. Belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa anak menuju atau mencapai target tertentu
  2. Membantu  guru dalam menyelesaikan indikator pembelajaran Matematika

III. PENUTUP

Setiap teori pembelajaran punya kelebihan dan kekurangan yang justru mengundang para ahli untuk menciptakan teori-teori lainnya. Dengan Teori Thorndike ini guru atau pengajar matematika terbantu dalam menyelesaikan indicator pembelajarannya dengan memberikan stimulus-stimulus dan mengarahkan pemikiran siswanya, meskipun mengurangi daya kreatifitas siswa.
Harapan penulis dalam menyusun makalah ini adalah membuka wacana pendidikan bagi akademisi Pendidikan Matematika tentang adanya Teori Thorndike dan melejitkan semangat untuk lebih tahu tentang teori-teori yang lain demi kayanya wacana pendidikan bagi para pendidik dan majunya pendidikan matematika di Indonesia

REFERENSI

Akhmadan, Widyastutik. 2010 . Teori Asosiasi dari Edward L.Thorndike, Komunitas Blogger Universitas Sriwijaya :Sumatra Selatan
Alao, K.O., & Adeniyi, W.O,  2008 . Psichology of Learning. Nigeria : National Open University of Nigeria.
Boere, George. 2005. Sejarah Psikologi. Jakarta : Prima Shopie
Esti, Sri, 2006. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hal. 126
Hull,   C.L.   1943.  Principles   of   Behaviour.  New   York:   Appleton-Century, Crofts
Prajitno, Edi, dkk, 2002. Identifikasi Kesulitan Matematika Siswa Kelas III Catur Wulan Pertama SD SE Randin Pakem Sleman Yogyakarta, Jurnal Matematika Tahun VIII, Edisi khusus Juli 2002, Universitas Negeri Malang
Rizal, Muhammad. 2004. Teori Thorndike dalam belajar.
Sabri, M. Alisuf, 1996. Psikologi Pendidikan Berdasarkan Kurikulum Nasional IAIN Fakultas Tarbiyah, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya.
Soemanto, Wasty, 2003. Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Rineka Cipta. Hal. 124
Soleh,  Muhamad.(1998).  Pokok-pokok  Pengajaran  Matematika  Sekolah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
Suherman, dkk. 2003. Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jica.
Syah, Muhibbin, 2007. Psikologi Belajar, PT. RajaGrafindo Persada. Hal. 35
Tomlinson, S, 1997. Edward Lee Thorndike and John Dewey on the Science of Education, Oxford Refiew of Education, Vol.23 no.3
Walker, S.F.(1992)  A  brief  history  of  connectionism  and  its  psychological implications.  In Clark, A.  and Lutz, R.  (eds) Connectionism in Context.  Berlin



[1] Artikel dibuat dalam rangka pemenuhan tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Matematika dengan dosen pengampu Prof. Dr. Kusaeri M.Pd di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar