TEORI KONEKSIONISME E.L THORNDIKE
DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA[1]
Oleh:
Qomaroh
(D04209046) & Umi Hanik (D04209062)
(Jurusan Pendidikan Matematika
IAIN Sunan Ampel Surabaya)
I. PENDAHULUAN
Pada
umumnya persepsi siswa terhadap pelajaran
matematika dirasakan sukar dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari. Namun juga terdapat beberapa siswa yang
sangat menikmati keasyikan bermain dengan matematika,
mengagumi keindahan matematika dan tertantang ingin memecahkan setiap
soal matematika. Kedua persepsi ini pasti
ada dalam pendidikan matematika di mana-mana.
Yang menjadi masalah adalah persepsi negatif
terhadap pelajaran matematika sangat banyak terdengar. Persepsi negatif ini,
mungkin saja berasal dari porsi materi matematikanya terlalu
banyak dan tidak sesuai dengan
tingkat perkembangan intelektual siswa; bahkan mungkin
berasal dari strategi pembelajarannya yang kurang menarik bagi siswa.
Namun kita harus selalu berusaha membangun
persepsi positif terhadap pelajaran matematika. ( dikutip dari buku
“Pokok-pokok Pengajaran Matematika di Sekolah” oleh Muhamad Sholeh)
Untuk
membangun porsi persepsi positif agar lebih banyak daripada persepsi negative
tentunya bukan perkara yang mudah dan bukan perkara yang tidak mungkin.
Diperlukan strategi khusus bagi guru atau pengajar matematika tentang bagaimana
menyajikan matematika secara menarik bagi murid, diantaranya dengan
meminimalisir kesulitan belajar siswa dalam matematika. (Sabri : 1995)
mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah kesukaran siswa dalam menerima atau
menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa
terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau ditugaskan oleh
guru. Diperkuat oleh pemaparan Herman Hudojo (1983:200) dalam salah satu jurnal
milik Edi Prajitno dkk (2002:68), menyatakan bahwa kesulitan belajar merupakan
gejala yang Nampak dalam berbagai jenis manifestasi.
Kesulitan
belajar menurut thorndike dapat terkurangi dengan adanya latihan, yaitu semakin
sering tingkah laku diulang atau dilatih (digunakan) , maka asosiasi tersebut
akan semakin kuat. Dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena
latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. (Wasty : 2003 ) mengemukakan bahwa prinsip utama
dalam belajar adalah ulangan. Hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat
jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak pernah
digunakan, artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-latihan dan
pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama. Semakin sering
berlatih maka akan semakin paham. sebagaimana yang dikemukakan oleh Mc.Keachie
bahwa individu merupakan “manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu”.
Dalam proses
belajar, siswa harus menampakkan keaktifan. Keaktifan itu dapat berupa kegiatan
fisik yang mudah diamati maupun kegiatan psikis yang sulit diamati. Kegiatan
fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih
keterampilan-keterampilan dan sebagainya. Kegiatan psikis misalnya menggunakan
pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi, membandingkan
suatu konsep dengan yang lain, menyimpulkan hasil percobaan dan lain
sebagainya.
Dalam
pembahasan kali ini akan di jelaskan salah satu Teori Behavioristik yang lebih
terpusat pada tingkah laku. Melalui pembahasan dalam makalah ini, akan
diketahui tentang pengertian teori koneksionisme Thorndike, hukum-hukum teori
koneksionisme, aplikasi teori koneksionisme dalam pembelajaran matematika, kelebihan
dan kelemahan teori koneksionisme.
II. PEMBAHASAN
Teori Koneksionisme Edward Lee
Thorndike
Edward Lee
Thorndike dianggap sebagai ilmuwan behaviorisme terbesar sepanjang sejarah.
Teori-teorinya mudah dan dapat dimengerti serta mudah diaplikasikan di dunia
nyata. Beberapa teori yang mengusik pikiran para kritikus pendidikan adalah
salah satu teori utamanya yang disebut dengan conectionisme (George :
2005).
Edward Lee
Thorndike dilahirkan di Williamsburg, Massachusetts tahun 1874. Universitas
Wesleyen dan kemudian Universitas Harvard telah membentuk ide-ide Thorndike
mengenai psikologi. ( Esti : 2006) mengemukakan teori Edward Lee Thorndike ini
dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia
berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming,
hubungan antara Stimulus dan Respons .
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon
(Muhibbin : 2007). Stimulus yaitu apa saja dapat
merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal
lain yang dapat diterapkan melalui alat indera, sedangkan respon yaitu
reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Stimulus dan respon merupakan upaya
secara metodologis untuk mengaktifkan siswa secara utuh dan menyeluruh baik
pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan). Salah satu indikadasi keberhasilan
belajar terletak pada kualitas respon yang dilakukan siswa terhadap stimulus
yang diterima dari guru.
Belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa yang disebut stimulus
dan respon. Teori belajar ini disebut teori “conectionisme”. Atau dengan
kata lain, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara S (stimulus)
dan R (respon, sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon )
atau antara kesan indera (sense impression) dan impuls (dorongan
spontan) untuk bertindak (impuls to action) disebut “bond” atau “connection”
atau “association”. Karena itulah maka teori ini disebut “connectionis”
atau “bond psikologi”. Menurut Thorndike, asosiasi itu membentuk
sebagian besar, meskipun bukan seluruhnya, apa yang di pelajari dan diingat
oleh manusia .Teori ini disebut juga dengan “trial and error learning”
(belajar dengan cara coba salah) atau “learning by selecting and connecting”
(belajar dengan menyaring dan menghubungkan). Menurut teori ini, belajar
dilakukan dengan cara menyaring atau memilih respons yang tepat terhadap
stimulus tertentu ( Muhammad : 2004 ).
Hukum-hukum Teori Koneksionisme Edward
Lee Thorndike
Adapun hukum
– hukun teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike yang ditulis oleh
Stephen Tomlinson (Edward Lee Thorndike and John Dewey on the Science of
Education, 1997) adalah :
- Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya.
- Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan dan pengalaman yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon yang terus-terus dilatihkan, maka ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).
- Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti, jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat. Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung tidak akan diulangi pada waktu yang lain. Perhatikan ungkapan Stephen F.Walker (A brief history of connectionism and its psychological Implications, 1992) Technically Thorndike proposed a teaching rule, not unlike back propagation, by which the positive outcome strengthened or “stamped-in” connections between an immediately preceding behaviour and stimulus input present at the time. Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebabkan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya ( Wasty : 2003). Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Selain
hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang
disebutnya transfer oftraining. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru,
karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik
dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang
identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi
dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu
ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan
harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya,
kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan
soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik. Dengan demikian kemampuan
mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering
melakukan latihan.
Aplikasi Teori Koneksionisme Edward
Lee Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
Implikasi Teori Throndike pada pembelajaran dikelas
yang dikutip dari buku Psichology of Learning adalah :
1) Guru harus tahu, bahwa siswa lebih minat belajar
ketika mereka merasa berkebutuhan dan berkepentingan pada pelajaran tersebut.
maka guru harus memastikan bahwa kegiatan belajar tersebut penting bagi siswa.
2)
Kesiapan merupakan prasyarat untuk belajar, karena itu
guru disarankan untuk mempertimbangkan kemampuan mental atau kognitif peserta
didik ketika merencanakan kurikulum atau isi instruksional.
3)
Guru harus menyadari fakta bahwa siswa ingin
mengulangi tindakan yang mereka terima sebagai hal positif. Oleh karena itu,
guru harus selalu menggunakan berbagai strategi motivasi untuk mempertahankan
minat belajar siswa di kelas.
4)
Guru harus selalu meghadirkan bahan secara logis dan
cara yang lebih koheren. Ini adalah cara utama menangkap dan mempertahankan kepentingan
peserta didik dalam kegiatan pedagogis.
5)
Guru harus mempertimbangkan penggunaan hukuman sebagai
pilihan terakhir dalam mengurangi perilaku yang tidak diinginkan di kelasnya.
Ini disebabkan hukuman tidak bisa benar-benar mengatasi masalah dan itu akan
membuat siswa menjadi lebih keras di kelas.Guru harus menyadari pentingnya
latihan atau praktek dalam proses pembelajaran. Diperkuat oleh Hull (1943) Learning
may not occur unless practice. Ini berarti bahwa guru harus melibatkan
siswa dalam tugas atau pekerjaan rumah, jika ingin tercapainya pembelajaran
bermakna.
Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran
matematika adalah sebagai berikut ( Suherman : 2003 ) :
- Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap mengikuti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar
- Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu. Hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
- Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika dengan cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampu menyerap materi yang diberikan.
- Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
- Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses harus bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
- Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
- Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
- Cara mengajar yang baik bukanlah hanya mengharapkan murid tahu apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
- Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam – macam situasi.
Kelebihan dan Kelemahan Teori
Koneksionisme Edward Lee Thorndike
Kelemahan Teori Thorndike dalam Pembelajaran
Matematika
- Sering kali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan atau belajar yang tidak dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon
- Teori ini tidak mampu menjelaskan alasan-alasan yang mengacaukan hubungan antara stimulus dan respon ini dan tidak dapat menjawab hal-hal yang menyebabkan terjadinya penyimpangan antara stimulus yang diberikan dengan responnya
Kelebihan Teori Thorndike dalam Pembelajaran
Matematika
- Teori ini mengarahkan anak untuk berfikir linier dan konvergen. Belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa anak menuju atau mencapai target tertentu
- Membantu guru dalam menyelesaikan indikator pembelajaran Matematika
III. PENUTUP
Setiap teori
pembelajaran punya kelebihan dan kekurangan yang justru mengundang para ahli
untuk menciptakan teori-teori lainnya. Dengan Teori Thorndike ini guru atau
pengajar matematika terbantu dalam menyelesaikan indicator pembelajarannya
dengan memberikan stimulus-stimulus dan mengarahkan pemikiran siswanya,
meskipun mengurangi daya kreatifitas siswa.
Harapan
penulis dalam menyusun makalah ini adalah membuka wacana pendidikan bagi akademisi
Pendidikan Matematika tentang adanya Teori Thorndike dan melejitkan semangat
untuk lebih tahu tentang teori-teori yang lain demi kayanya wacana pendidikan
bagi para pendidik dan majunya pendidikan matematika di Indonesia.
REFERENSI
Akhmadan, Widyastutik. 2010 . Teori Asosiasi dari
Edward L.Thorndike, Komunitas Blogger Universitas Sriwijaya :Sumatra
Selatan
Alao, K.O., & Adeniyi, W.O, 2008 . Psichology
of Learning. Nigeria : National Open University of Nigeria.
Boere, George. 2005. Sejarah Psikologi. Jakarta :
Prima Shopie
Esti, Sri, 2006. Psikologi Pendidikan,
Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Hal. 126
Hull, C.L. 1943. Principles
of Behaviour. New York:
Appleton-Century, Crofts
Prajitno, Edi, dkk, 2002. Identifikasi Kesulitan
Matematika Siswa Kelas III Catur Wulan Pertama SD SE Randin Pakem Sleman
Yogyakarta, Jurnal Matematika Tahun VIII, Edisi khusus Juli 2002,
Universitas Negeri Malang
Rizal, Muhammad. 2004. Teori Thorndike dalam
belajar.
Sabri, M. Alisuf, 1996. Psikologi Pendidikan
Berdasarkan Kurikulum Nasional IAIN Fakultas Tarbiyah, Jakarta: CV. Pedoman
Ilmu Jaya.
Soemanto, Wasty, 2003. Psikologi Pendidikan,
Jakarta, PT. Rineka Cipta. Hal. 124
Soleh, Muhamad.(1998). Pokok-pokok
Pengajaran Matematika Sekolah.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998
Suherman, dkk. 2003. Strategi pembelajaran
Matematika Kontemporer. Bandung: Jica.
Syah, Muhibbin, 2007. Psikologi Belajar, PT.
RajaGrafindo Persada. Hal. 35
Tomlinson, S, 1997. Edward Lee Thorndike and John
Dewey on the Science of Education, Oxford Refiew of Education, Vol.23 no.3
Walker, S.F.(1992) A brief
history of connectionism and its psychological
implications. In Clark, A. and Lutz, R. (eds)
Connectionism in Context. Berlin
[1] Artikel dibuat dalam rangka
pemenuhan tugas mata kuliah Seminar Pendidikan Matematika dengan dosen pengampu
Prof. Dr. Kusaeri M.Pd di Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya tahun
2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar